Thursday 28 June 2018

Cerita dari Hutan: Menyusuri Hutan Mangrove Tapak Tugu Semarang


Sinar mentari mulai menyingsing. Pada akhir pekan, saya bersama sahabat berkendara menjauhi kota metropolitan ini. Tak ada yang menyangka jika di balik hiruk-pikuk ibukota Jawa Tengah masih tersisa kawasan konservasi mangrove nan rimbun. Tidak seperti hutan mangrove yang lain, kebanyakan sudah dirombak dan diberi spot-spot selfie. Namun, di sini benar-benar dijaga keasliannya

Hutan Mangrove Tapak Tugu terletak 17 kilometer dari pusat Kota Semarang. Normalnya dapat ditempuh dalam waktu 25 menit. Karena lalu lintas cukup padat, 45 menit kami baru sampai di tujuan. Sebagian besar orang mengenal Hutan Mangrove Tapak Tugu sebagai tempat yang liar dan tak terurus. Berbeda dengan saya. Menginjakkan kaki di sini, saya merasa seperti menemukan sebuah ‘peradaban yang hilang.


Mangrove Tapak Tugu didirikan oleh para nelayan Desa Tugurejo dibantu oleh pemerintah daerah. Kawasan pelestarian mangrove ini dibuat bukan tanpa tujuan. Selain untuk menyeimbangkan ekosistem pantai, pembuatan kawasan ini diharapkan dapat mendongkrak perekonomian masyarakat melalui sektor pariwisata. Objek ini baru didirikan tahun 2017 dan masih belum cukup ramai. Lokasi yang tidak jauh dari pusat kota membuat wisatawan mudah menemukannya.


Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan air payau. Pohon bakau sendiri sebenarnya hanya salah satu dari bagian jenis tumbuhan yang hidup di hutan mangrove. Hutan mangrove berada di pantai yang berlumpur, terutama pada daratan menjorok ke laut. Lahan hutan mangrove tergenang oleh air laut secara berkala dan mendapat cukup pasokan air tawar dari darat untuk menurunkan salinitas.


Hutan mangrove dapat diklasifikasikan menjadi 6 tipe:

1. Overwash Mangrove Forest
Tipe ini biasanya terbentuk di pulau yang terpisah, tempat tumbuhnya sering dibanjiri oleh air pasang. Didominasi oleh mangrove merah yang pohonnya dapat mencapai ketinggian 7 meter.

2. Fringe Mangrove Forest
Terbentuk sepanjang garis pantai atau pulau yang terlindung dari gelombang dan arus. Wilayahnya terkena pasang-surut air laut secara periodik. Sistem akarnya terbangun sangat kokoh. Keberadaannya sangat penting sebagai pelindung garis pantai. Mangrove tipe ini tingginya dapat mencapai 10 meter.

3. Riverine Mangrove Forest
Berlokasi di sepanjang sungai maupun aliran air dan setiap harinya terkena gelombang laut. Pada wilayah ini terjadi pertemuan antara arus air tawar dari daratan dengan air laut yang nantinya membentuk sedimentasi. Ketinggian pohon dapat mencapai 18-20 meter. Riverine mangrove merupakan tipe paling produktif karena tingginya konsentrasi zat-zat nutrisi untuk tumbuhan.

4. Basin Mangrove Forest
Kelompok ini terbentuk di daerah yang lebih menjorok ke daratan. Ombak dan gelom bang membasahi daerah ini secara tidak teratur. Tipe ini merupakan penghasil kayu. Tinggi maksimum pohonnya mencapai 15 meter.

5. Hammock Forest
Mirip dengan basin mangrove forest, tetapi terletak di lokasi yang sedikit lebih tinggi. Kawasan ini jarang sekali dibasahi oleh ombak. Pohonnya yang sangat jarang tumbuh lebih dari 5 meter.

6. Scrub atau Dwarf Forest
Biasanya ditemukan pada kondisi lingkungan yang ekstrim. Pohonnya berketinggian melebihi 1,5 meter. Terhambatnya pertumbuhan pada tipe ini disebabkan oleh faktor nutrisi yang sangat terbatas.

Sekitar satu jam lebih kami menanti nelayan yang akan menjalankan perahu mengelilingi Kawasan Mangrove Tapak Tugu. Perasaan sangat lega dan antusias menghinggapi kami ketika seorang nelayan turun ke perahu kecilnya. Mesin perahu dinyalakan. Kami siap menyusuri kemisteriusan Hutan Mangrove Tapak Tugu.


Pelan-pelan perahu meninggalkan dermaga. Satu perahu diisi oleh 6 sampai 7 orang. Perahu kecil ini bergoyang-goyang menyeimbangkan muatan. Ketika melihat kiri kanan yang begitu rimbun, kami merasa tidak sedang berada di Semarang, namun seperti sedang berada di pedalaman Kalimantan nun jauh di sana.

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, kemudian disusul oleh Nigeria, Meksiko, dan Australia. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 4,25 hektar. Jumlah ini menjadi 3,7 hektar pada tahun 1993. Hutan Mangrove mengalami banyak penyusutan akibat alih fungsi lahan menjadi lahan pertambakan, pertanian, dan permukiman. Hutan mangrove terluas di Indonesia terdapat di Papua (58%), Sumatera (19%), dan Kalimantan (16%).

Perahu yang kami tumpangi sering mati di tengah jalan! Apalagi ketika berhenti, perahu ini kembali bergoyang ke kiri dan ke kanani. Kami cukup merinding dibuatnya. Sambil menunggu mesin selesai diperbaiki, saya dan para penumpang yang tak lain adalah masyarakat sekitar berbincang-bincang.


Bagi mereka, keberadaan Hutan Mangrove Tapak Tugu dapat menjadi penahan abrasi dan menyejukkan udara di sekitar. Mangrove menurunkan kondisi gas karbondioksida di atmosfer. Hutan mangrove juga menarik wisatawan untuk berkunjung. Ini memberi dampak positif terhadap perekonomian warga sekitar. Keberadaan wisata ini memancing perekonomian kreatif masyarakat dan membuka lapangan kerja baru.

Selain itu, mangrove juga memiliki peranan penting terhadap ekologis yaitu sebagai penghasil nutrisi untuk organisme laut, serta menjadi tempat hidup biota laut seperti ikan, udang, burung kuntul, burung bangau, dan camar. Bahkan, hutan mangrove di Kalimantan Timur menjadi habitat bekantan.

Tak kalah menariknya, mangrove dapat diolah menjadi sirup dan obat-obatan. Jenis mangrove yang bisa dimakan antara lain pedada (Sonneratia spp), api-api (Avicennia spp), nipah (Nypa), warakas (Acrostichum auerum), tancang (Bruguiera spp), dan bakau (Rhizophora spp).

Perahu kembali dapat berjalan mendekati bibir pantai. Keluarlah kami dari kawasan mangrove tadi ke pantai lepas! Terik matahari yang kian menyengat dipadukan dengan angin kering yang melintas sukses membuat kulit kami menjadi semakin eksotis.



Tiba-tiba, perahu kami berhenti di tengah laut! Perahu mungil ini terombang-ambing. Mesin kapalnya mati. Bagaimana ini? Penumpang-penumpang perempuan lain ribut. Kami pasrah menunggu bapak nelayan memperbaiki mesin perahu kecil ini. Setengah jam berlalu, nelayan itu belum mampu menggerakkan perahu. Kami hanya mampu berdoa. Setengah jam kemudian, mesin perahu menyala. Perahu perlahan meninggalkan tengah lautan.


Kami mendarat di Pulau Tirang. Iya, Semarang memang punya pulau! Keberadaan Pulau Tirang tak lepas dari sejarah Kota Semarang karena “rang” berasal dari pulau ini. Keberadaan Pulau Tirang ini hanya menyisakan seuprit daratan. Karena adanya reklamasi di Marina dan Kendal, perputaran arus airnya bergeser dan lama kelamaan mengikis Pulau Tirang. Di sini dulunya terdapat dua sumber mata air tawar, sayang sekarang sudah menghilang. Pantai Tirang berada di belakang Bandara Internasional Ahmad Yani, jadi sambil bermain di sini kita dapat melihat pesawat-pesawat yang hendak landing. Memang tiada duanya.



Penyebab kerusakan pada ekosistem hutan mangrove antara lain karena eksploitasi kayu, ikan, dan sumber daya lain secara berlebihan sehingga keseimbangan ekosistem terganggu. Ada lagi konversi hutan mangrove menjadi lahan pertanian dan perikanan. Pembuatan tambak-tambak dilakukan dengan menebang hutan mangrove.

Penyebab kerusakan hutan mangrove yang tak kalah fatalnya adalah pencemaran. Limbah cair maupun padat yang dibuang ke hutan mangrove akan mengurangi kadar oksigen dalam air. Limbah ini juga melapisi akar pneumatofora tumbuhan mangrove. Bahan-bahan pencemar ini dapat merembes ke dalam tumbuhan. Tumbuhan yang terganggu dapat mengalami kematian. Tidak hanya limbah, pencemaran hasil pertambangan seperti minyak juga membahayakan hutan mangrove.

Untuk mencegah terjadinya kerusakan, penduduk melakukan upaya konservasi dengan melakukan penanaman mangove dan membuat semacam penahan ombak. Kami dibawa juga ke tempat pembibitan mangrove, namun sayangnya sekarang tidak bertepatan dengan pembibitan jadi kami tidak bisa praktek secara langsung.

Adzan dzuhur menggema, perahu kembali berjalan menuju ke titik awal. Fyi, belum ada tiket masuk ke sini karena masih tergolong tempat wisata alam baru. Adapun untuk menaiki perahu kecil dikenakan tarif seikhlasnya, namun hargai lah jasa nelayan yang sudah mengantarkan kita menjelajahi hutan mangrove.




Oh iya, ketika mengunjungi suatu tempat biasakan jangan nyampah’ dan merusak lingkungan sekitar.


"Kill only time,
Take only pictures,
Have only bubbles,
Keep only memories."















No comments:

Post a Comment