Thursday 27 September 2018

Ruang Perspektif: Cerita Tentang Toleransi dari Masyarakat Borobudur


Indonesia, negara zamrud khatulistiwa yang kaya akan kekayaan alam dan budaya melahirkan masyarakat multikultural yang sangat menjunjung tinggi kearifan lokal masing-masing. Candi Borobudur merupakan masterpiece kemajuan sosial-budaya masyarakat pada masa itu. Bayangkan saja, dulu belum ada teknologi bernama drone yang mampu mengontrol sejauh mana pembangunan mahakarya tersebut. Hasilnya pun bisa sangat simetris membentuk lotus dari atas. Suatu misteri yang tak kunjung terjawab.

Bangunan yang kokoh menggambarkan perdamaian dan kerja keras orang-orang waktu itu. Batu sebanyak itu mampu disusun dengan rapi tanpa perekat. Bangunan punden berundak yang merupakan ciri khas bangunan Indonesia diakulturasikan dengan arca-arca India. Begitu mengagumkan. Pantas saja Candi Borobudur menjadi World Heritage. Warisan dunia berarti bukan lagi milik Buddha dan Indonesia, tapi milik semua umat di Indonesia. Sekecil apa pun peradaban tak patut untuk dilupakan.

Itu yang menjadi alasan mengapa aku dan teman-teman bergabung dalam Young Guardian Club Borobudur. Kami sadar, dengan ikut serta melestarikan cagar budaya sudah mampu menciptakan kepekaan sosial dalam jiwa.


Setiap dua minggu sekali kami naik ke candi untuk melakukan sosialisasi kepada pengunjung: do and don’t ketika berada di Candi Borobudur dengan menggunakan poster. Kami selalu mencoba untuk sopan ketika menegur wisatawan yang duduk di stupa. Tidak jarang kami memungut bungkus permen, tisu, dan plastik yang dibuang tidak pada tempatnya.



Terlepas dari perilaku pengunjung yang kadang kurang mengenakkan, adanya mahakarya tersebut menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menikmati wisata alam maupun budaya di lingkungan Borobudur. Candi Borobudur sendiri terletak di tempat yang mayoritas penduduknya Muslim, namun tak ada masalah bagi kami. Sebaliknya, malah mendatangkan rezeki. Penginapan penuh, kerajinan tangan dan kaos sablon yang laris manis, dan ekonomi kreatif yang berkembang. Bahkan sudah banyak cafe-cafe kece di Borobudur. Masyarakat tumbuh kreatif dengan diiringi dengan rasa toleransi yang mendalam. Sungguh indah bukan?

Toleransi bukan berarti kita harus mengikuti dan membenarkan apa yang orang lain lakukan. Bukan begitu. Toleransi means that tidak mengganggu, membiarkan orang lain dengan kepercayaannya, saling menghargai, dan tidak membenci siapa pun.


Bahkan ada orang Afghanistan yang berbicara padaku yang intinya dia iri dengan native Indonesia. Ia menganggap penduduk Indonesia sangat menghargai cagar budaya dan sangat toleransi. Di negaranya, Patung Buddha di Lembah Bamiyan dihancurkan oleh sekelompok orang.

Lihatlah, betapa besarnya ekspektasi orang luar negeri terhadap negara tercinta ini. Jangan nodai Indonesia dengan sampah-sampahmu di media sosial. Tidak menutup mata, banyak hal, tempat, prestasi Indonesia yang lebih patut di-share ketimbang ujaran-ujaran yang mengotori hati.

Iya, memang banyak yang negara ini harus benahi, tapi kalau kita saling menyalahkan, di mana muaranya? Guys, sudah saatnya kita melakukan aksi nyata untuk membangun rasa toleransi dalam segala aspek kehidupan.


It’s time to make an action. Dimulai dari hal-hal yang sederhana dengan selalu tersenyum kepada tetangga, berbagi makanan, ikut dalam perayaan hari kemerdekaan, mengajar anak-anak, dan spread positive vibes di media sosial. Oiya satu lagi, kita juga tidak sepantasnya memberi julukan kepada orang lain seperti ‘radikal’, ‘kolot’, ‘ekstrem’, ‘anti-Pancasila’ dan lain-lain. Sudah tidak sehat.

Kita tidak berhak menjuluki orang lain tanpa kita tahu seperti apa sebenarnya orang tersebut. Negara ini butuh orang-orang yang pandai, jujur, lemah lembut, tegas, sederhana, dan ramah. Kita harus bisa saling melengkapi. Boleh lah kita memberi kritik dengan bahasa yang santun dan solutif,

Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Ayo sebarkan kedamaian di setiap sudut kehidupan, agar hidup ini lebih bermakna.
Semua manusia sama kedudukannya di hadapan Sang Pencipta.

No comments:

Post a Comment