Friday 15 August 2014

Jintan no Chesu

Jintan no Chesu

    Karya Lena Sutanti      



Ave Mizuke masih lengang. Hanya satu dua kendaraan lewat dalam sepuluh menit. Perbedaan yang sangat menonjol dari biasanya. Mereka enggan keluar rumah karena cuaca lima derajat celsius di bawah nol. Tak peduli sedingin bahkan sepanas apa pun itu, pergi sekolah itu wajib, kecuali memang ada urusan yang tak mungkin bisa ditinggalkan. Ah urusan ya.. aku banyak memilikinya namun aku tetap berangkat ke sekolah. 
Aku mengenakan syal, sepatu boot, dan kaos tangan yang serba oranye. Mungkin kalian akan mengira oranye adalah warna yang paling ku suka. Anda salah. Kenyataannya, aku akan lebih gembira ketika seseorang membelikan benda-benda itu yang berwarna putih.
Warna putih itu simbol kesucian. Lantas apakah aku layak disebut suci. Paling tidak aku selalu berusaha seperti putihnya salju yang jatuh ke bumi. Anehnya, aku tak suka bila warna kulitku putih. Memiliki kulit hitam manis sepertinya terlihat eksotis. Memang itu yang kudambakan. Itu sebabnya aku tak pernah memakai sedulit lotion merk dan jenis apa pun.
Klorofil-klorofil pada daun sycamore posisinya sedang digantikan oleh salju. Mereka kalah battle saat musim dingin. Tapi musim semi nanti mereka bertekad membalas kekalahannnya. Klorofil-klorofil itu sekarang bergegas menyusun strategi di tempat yang masih dirahasiakan. Rapat raksasa itu diikuti oleh bermilyar-milyar klorofil. Mereka bergantian mengusulkan strategi. Bernyanyi, menari bersama dengan musik harmoni alam yang manusia normal tak bisa mendengar. Sudah jelas berfrekuensi infrasonik.
“Ohayo Jintan!” buru-buru aku menengok sekelilingku. Di seberang jalan terlihat Naegi melambai-lambaikan tangannya. “Ohayo Naegi!” aku membalas lambaiannya. Sebenarnya namaku Jinchi. Dulunya Naegi memanggilku Jin-chan, namun sekarang telah berevolusi menjadi ‘Jintan’. Teman-temanku juga ikut-ikutan  memanggilku ‘Jintan’. Naegi menungguku menyebrang jalanan lengang  itu. Lalu kami berjalan berdampingan menuju ke sekolah. “Oi Naegi.” setelah beberapa menit terdiam, aku mulai angkat bicara. “Naanii?” Naegi mengerutkan dahinya. “Nggak dingin apa tanpa syal gitu?” “Dinginlah. Habisnya syalku nggak ketemu sih, daripada aku sibuk nerusin nyari syalnya yang belum pasti ketemu itu, mending aku langsung berangkat aja. Kalau aku nyari syal terus terlambat sekolah kan tambah gawat, ntar aku malah disuruh lari ngelilingi lapangan basket, lebih dingin dong.” jelas Naegi panjang lebar. ‘’Yosh!’’
“Jintan, Naegi! Berdua aja?” sapa orang yang tak lain Himuro. “Iya, tadi kami nggak sengaja ketemu.” “Oh begitu Naegi.” jawab Himuro singkat. “Aku kepengen kita semua makan bareng di bawah pohon sakura musim semi.” pinta Himuro. “Ngapain nunggu musim semi segala, nanti pulang sekolah kan bisa.” “Oke, nanti sepulang sekolah kita makan sukiyaki bareng-bareng.” usulku. “Jangan sukiyaki deh, aku gak suka sayur.” bantah Himuro. “Pantesan, tubuhmu jadi kek gentong gitu!” “Percaya deh yang tubuhnya kayak bambu.” balas Himuro. “Ya ampun, kalian kayak anak kecil aja.” leraiku. “Habis Naegi mulai duluan.” “Ga peduli ah.” ucapku menahan tawa melihat ekspresi kocak Himuro. “Gimana kalau makan mi soba aja?” Himuro sangat bersemangat. “Apa aja enak, asal kita makannya bebarengan!” cetus Naegi. “Oke, sudah diputuskan, nanti pulang sekolah kita beli mi soba. Kita ajak Naomi dan Mugi juga! “Siip Jintan!” mereka menyahutku bersamaan.
Gedung SMP Wakatobi mulai terlihat jelas. Terlihat sepi karena semua anak berada di dalam kelas. Ada jam raksasa di halaman depan sekolah. Biasanya kaca jam berkilau bila diterpa sinar mentari. Sekarang kaca 70% tak terlihat. Dia tertutup oleh salju-salju yang telah membeku. Angka yang terlihat juga hanya angka sembilan dan delapan saja. Yang lainnya bersembunyi dibaliknya.
“Daaa Naegi, Himuro! Aku masuk kelas dulu!” teriakku. “Oke.” jawab mereka kompak. Aku masuk kelas namun tak sesemangat tadi. Aku menggeletakkan tas ku, bersamaan denganku Kyosha juga meletakkan tasnya di bangku yang sama. “Aku udah di sini duluan!” sergah ku. “Aduh, gimana kalau kita tentuin ini lewat permainan catur?” Kyosha mengedipkan mata sebelah kirinya. “Siapa takut.” jawabku tanpa ragu.
Dengan ditonton oleh anak-anak yang ada di kelas, aku dan Kyosha berhadap-hadapan dan mulai menunjukkan kemampuan kami. Aku menatap matanya setajam mungkin. Tak ku duga dia menyadarinya secepat itu. Kyosha tersenyum sinis. “Kyosha! Kyosha! Jintan! Jintan!” sorakan dari para penonton.
Aku baru tahu kalau Kyosha juga bisa main catur. Tapi tetap saja aku mampu mengalahkannya setelah semua pikiran ku kerahkan. “Oke, kamu boleh duduk di sini Jintan.” pasrah Kyosha. “Nggak ah, kamu yang di sini aja, aku seneng kok kamu udah ngajakin aku main catur.” ucapku dengan disertai senyuman. “Lho?’’ Kyosha tampaknya bingung.
“Udah delapan bulan semenjak kejadian itu, aku jadi males main catur.” ucapku padanya. “Tunggu, apa maksud dari ‘kejadian itu’ ?” Kyosha semakin penasaran dengan apa yang baru saja ku katakan. “Nanti waktu pulang sekolah aja ya, ntar kamu nunggu aku di atap ya, soalnya ini bel masuk hampir berbunyi.” kataku menunda. “Oke, Jintan.” Kyosha lagi-lagi mengedipkan mata kirinya tanda setuju mungkin.
Jam pelajaran Bahasa Inggris telah usai, itu berarti waktu senangku telah berakhir juga. Sekarang waktunya Pendidikan Kewarganegaraan atau kerap disingkat menjadi PKN. Inilah pelajaran yang paling memuakkan sekaligus menyeramkan bagiku. Pelajaran keramat! Itu julukan di kelasku, mungkin akan berubah pula di kelas lain, seperti ‘pelajaran kematian’, ‘pelajaran pembunuh’ dan masih banyak lagi. Seperti momok, memang tidak hanya aku yang berpikir demikian. Entahlah! Aku tak bisa mendiskripsikan alasanku untuk ini. Aku tidak terlalu serius saat guru  PKN menerangkan. Pikiranku melayang dibawa oleh angin gunung yang berhembus kencang.
“Jinchi!” sebuah suara menyadarkanku dari lamunan barusan. Sial! Padahal lagi enak-enaknya nih, batinku. “Mengapa kita harus menghindari peperangan?” tanya Bu Keiko, sang guru PKN kepadaku. Aku memutar otakku. “Agar…eh agar…” belum selesai aku mengutarakan jawabanku, Okii memotongnya, “Agar-agar?” seisi kelas tertawa renyah. “Diam semua! Agar apa Jinchi?” Tanya Bu Keiko lagi. “Agar para pelajar tidak banyak mengafal nama pahlawan yang gugur, Bu.” Ucapku lantang penuh semangat. Kulihat siswa dan siswi di kelas menahan tawanya yang telah di ujung tanduk. “Baka Jinchi!” makanya kalau di kelas jangan banyak melamun kau!” kali ini Bu Keiko memasang tampang marah. “Gomennasai.” ucapku polos.
 “Kau ini cuman minta maaf terus-terusan, tapi kesalahan yang sama masih terus dilakukan. Harusnya intropeksi diri dong!” aku hanya terdiam dan pasrah mendengarkan omelan Bu Keiko. Celotehan itu sudah menjadi makanan ku ketika pelajaran PKN berlangsung. “Jinchi, keluar saja kamu! Kamu ini penghambat di kelas saya. Boleh guru yang lain mengatakan kau pintar ini lah, itulah, multilatent lah, atau apa lah, tapi kau memang hama di pelajaran PKN! Alias kau lemah sekali.” Aku langsung berlari ke luar ruangan kelas tanpa menyangkalnya. Ku tak ingin seisi kelas melihat tetesan air mata ku. Sudah kuduga, Bu Keiko memang sangat membenciku. Walaupun begitu aku tak membencinya. Tujuanku kali ini ialah perpustakaan. Ku lihat dalamnya ramai sekali sepertinya sedang ada pusat perhatian.
“Jinchi! Kamu ikut nggak?” Tanya seseorang yang tak lain Okazaki. “Hah? ikut apaan?” aku melongo. “Seleksi turnamen catur musim panas.” Jelas Okazaki. “Oh turnamen catur ya.. Nggak usah tanya, aku pasti ikut!!!” ucapku dengan semangat membara. “Sebulan lagi akan diadakan seleksi tingkat sekolah, lalu dilanjut tingkat kota, lalu provinsi, dan akhirnya nasional. Juara satu, dua, dan tiga nasional akan ikut pelatnas!” terangnya. “Kalau itu sih, aku udah tau.” Aku pergi meninggalkannya guna melihat keramaian di perpustakaan. Ternyata memang benar. Di sana terpampang nyata poster turnamen catur musim panas. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan menjadi juaranya!
Sepulang sekolah aku, Himuro, Naomi, Naegi, dan Mugi mengunjungi restoran mi soba biasanya. Kami memesan mi soba, dan memakannya bersamaan. Kami terlihat sangat lahap sekali menelannya. “Hmm. Udah lama kita nggak nongkrong di sini berlima ya?” Naomi mulai angkat bicara. “Iya, habis kita sering sibuk. Hahahaha!” ucapku. “Coba jelaskan padaku di mana letak kesibukannya?!” Naegi nyambung. “Sibuk ngerjain PR, sibuk nonton anime, ah banyak deh lainnya.” Jelasku. “Iya juga sih, PR aja seabreg gitu.” Mugi menyahut. “Huahahahahaha!” kami berlima tertawa tanpa beban.
Hingga akhirnya aku teringat sesuatu. “Eh iya, aku tadi udah janji sama Kyosha. Aku pergi dulu ya kawan-kawan!” “Ehm.. ada apa antara Jintan sama Kyosha?” pancing Naegi dengan tatapan aneh. “Ada yang harus ku bicarakan dengannya.” “Wow, jangan-jangan…” “Ya nggak mungkin lah!” aku menyela perkataan Himuro yang belum selesai. “Oh, aku kira kamu mau bilang kalau…” buru buru aku membungkam bibir Naomi yang mau nerocos seenaknya. “Bye!” aku mengambil langkah cepat dan meninggalkan mereka berempat.
Sampai sekolah, aku langsung menuju ke atap. Ada seorang cowok yang berdiri tegap memandangi keidahan kota di sana. Ya kalau bukan Kyosha, siapa lagi. Ternyata dia memang menungguku. “Maaf Sha! Barusan aku ada janji juga sama temen-temenku di restoran soba.” Aku merasa sangat bersalah padanya. “Tenang Jintan, aku nggak bakal marah kok.” Kyosha berusaha menyembunyikan wajah kekecewaannya dengan memasang senyuman. “Sebenernya… delapan bulan yang lalu itu…” aku terasa berat mengutarakannya. “Kenapa Jintan? Kamu dan sahabat-sahabatmu bertengkar? Itu udah wajar kok.” “Bukan itu Sha!” sergahku. “Terus apa? Bilang aja.” Kyosha mendesak, sepertinya dari tadi ia memang sudah sangat penasaran tentang apa yang akan ku katakan.
“Delapan bulan lalu… aku menang seleksi turnamen catur musim panas di sekolah, lalu aku mewakili SMP Wakatobi untuk berlomba di tingkat kota, dan aku juara satu, setelah itu aku mewakili kota Teiko dan berlaga di tingkat provinsi, aku juara dua, namun aku tetap ikut berlomba di tingkat nasional karena dari setiap provinsi diambil tiga perwakilan. Nah setelah itu aku gagal di turnamen nasional. Aku di peringkat empat! Nyaris sekali aku mengikuti pelatnas dan berlaga di turnamen catur di luar negeri, aku sangat kecewa Sha! Kecewa sekali, sakit Sha rasanya. Maaf Sha, aku jadi curhat begini.” Ceritaku panjang lebar.
“Hahahaha!” Kyosha mendadak tertawa. “Lho kok malah ketawa Sha?” aku memasang muka cemberut. “Habisnya Jintan nggak bersyukur, sih! Juara empat nasional itu udah istimewa lho! Aku aja seleksi sekolah nggak lolos kok.” Ucap Kyosha. “Tapi kamu nggak tau betapa kecewanya kalau seperti itu, Sha!” “Jintan! Yang penting kamu kan masih punya kesempatan buat ikut lagi tahun ini, kan! Udah deh, daripada kamu menyesali hal yang udah berlalu, mending kamu buat masa lalu itu sebagai cermin untuk melangkah jauh ke depan lagi. Aku yakin kamu bisa, Jintan!” “Makasih semangatnya ya, Sha! Akan selalu kuingat. Kamu mau nggak, jadi sahabatku?” tawarku. “Aku udah menganggapmu sebagai sahabat kok, Jintan.”
Malamnya aku masih terpikir oleh kata-kata mutiara Kyosha tadi siang. Aku tak mengira sebelumnya jika Kyosha bisa sebijak itu. “Kak, ayo main catur sebentar!” ajakku pada kakakku, Usui. “Lho? Kenapa tiba-tiba ngajak gitu?” Kak Usui heran. “Gak ada salahnya kan, hampir ada turnamen catur musim panas!” paparku. “Oh, kakak juga udah denger dari SMA ku kalau itu. Aku juga ikut, dek. Aku mewakili sekolah.” Pamernya. “Udah seleksi sekolah?” “Aku langsung ditunjuk buat perwakilan sekolah!” “Widih, sombongnya! Tapi, selamat ya, kak. Ayo kita latihan bareng!” ajakku. “Ok! Syukurlah kamu udah semangat gitu. Ada yang nyemangatin kamu? Siapa?” kakakku penasaran. “Nggak penting, ah!” aku dan kakakku mulai menata bidak-bidak catur di papan hitam putih. “It’s your turn, Jintan!” ucap kak Usui. Aku mulai duluan karena aku pegang bidak putih.
Aku mulai belajar catur ketika berumur enam tahun bersama kakakku, Usui Tsuzuku yang dua tahun lebih tua dari ku. Kami belajar dari papan catur yang dibeli kak Usui di toko perlengkapan olahraga dekat kompleks perumahan. Segera saja, catur menjadi perhatian utamaku. Pecatur idolaku adalah Bobby Fischer, asal Chicago, Amerika. Dia juga anak ke dua dari dua bersaudara sepertiku. Aku selalu saja kalah jika bermain dengan kakakku. Dia sangat jenius. Baru satu dua kali saja aku menang melawannya. Jika aku menang dengannya, dia hanya menganggap itu hanya sebuah keberuntungan semata. Ya memang begitulah kenyataannya. Walaupun demikian, aku tetap berusaha untuk mengalahkannya di setiap kesempatan. Namun, kita belum pernah bertemu di pertandingan yang sesungguhnya, karena aku ikut kejuaraan SMP, dan dia mengikuti kejuaraan  SMA.
Aku ingin bertemu Akana Najyenka lagi guna membalas kekalahanku tahun lalu. Gara-gara dia, aku tak jadi merebut medali  nasional dan juga gagal masuk pelatnas. Padahal itulah impianku sejak kecil. Untuk dapat menghadapinya lagi, aku harus memenangkan mulai dari awal lagi. Ia kondang dengan papan catur perunggunya yang melegenda, yang telah menjadi perlambang kehebatannya. Papan catur perunggu itu adalah medan tempurnya dan ia tak pernah kalah di medan tempurnya sendiri. Pecatur lain percaya bahwa ilmu hitam telah mengambil bagian dalam urusan papan catur perunggu itu.
Konon, Akana tak pernah bisa dikalahkan jika berlaga dengan papan catur itu, dan memegang bidak putih. Ia mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertahan dan menyerang. Mungkin bukan hanya papan caturnya yang hebat, orangnya juga hebat, taktik menyerangnya mematikan! Kudanya seperti kuda sungguhan yang perkasa, bentengnya terlalu kuat, rajanya terlihat memandang sinis, menteri selalu mempunyai peran rangkap. Attack, Defense! Luncusnya bagai bidadari cantik yang selalu meluncur dari sudut ke sudut. Aih moleknya.
Tak terasa satu bulan berjalan sangat amat cepat. Tetapi, tetap tak mampu sepadan dengan kecepatan rambat cahaya yang sekitar tiga kali 108 meter per detik. Bayangkan, betapa cepat pergerakannya! Pagi ini, akan dilaksanakan seleksi catur untuk  memilih siapa yang layak menjadi perwakilan SMP Wakatobi. Tadi malam aku susah tidur, aku sibuk menyusun strategi baru untuk mengalahkan lawanku nanti secara tepat dan mudah tentunya.
“Tumben udah nyampe sepagi ini, Jintan!” ucap Kyosha. “Lah, kamu juga!” “Aku ingin ikut seleksi turnamen itu lagi, Jintan! Katanya tahun ini akan dipilih dua perwakilan dari sekolah, satu cowok, satu cewek.” Terang Kyosha. “So desu ka.” Sebelum mengikuti seleksi, aku tak hentinya memanjatkan doa kepada Tuhan agar aku diberi kemudahan menakhlukkan lawan-lawanku nanti. Mungkin mereka agak lebih sedikit tangguh dari setahun yang lalu.
Lawan pertama ku kali ini adalah Tanaka Minami. Hanya sepuluh menit setelah permainan dimulai, aku dengan mudah menumbangkannya. Seleksi ini menggunakan sistem gugur, dan otomatis Minami langsung tak mengikuti babak dua. Di samping mejaku tempat menghadapi Minami, Kyosha sedang sibuk memikirkan langkah selanjutnya. Setelah berusaha mati-matian, Kyosha dapat merobohkan Dansk Stronovsky, murid baru pindahan dari Rusia. Syukurlah, dia juga menang di babak awal.
            Kedua, aku berhadapan kembali dengan Kaze Aiko, yang tahun lalu pernah kukalahkan di perempat final seleksi sekolah. Mungkin, dia dendam sekali denganku yang telah menghalangi langkahnya menuju perwakilan sekolah. Namun, aku juga tak akan mengalah begitu saja. Aku tetap harus menang walau banyak sekali orang yang harus benci dengan diriku. Aku hanya ingin menunjukkan jati diriku yang sesungguhnya. Dia mengambil langkah yang sangat gegabah hingga berulang kali menjatuhkan bidak catur. Entah itu disengaja atau tidak, namun setelah pertarungan sengit ini, aku tetap mengalahkannya. Pupus sudah impian Aiko. Dia menatapku nanar. Aku minta maaf, tapi dia tak meresponku sama sekali, dan malah pergi. Dasar! Apa boleh buat, yang penting aku telah meminta maaf padanya. Ini kan juga bukan kesalahanku.
            “Selamat Jintan! Kau sudah dipastikan lolos seleksi ini!” tiba-tiba Kyosha sudah berdiri di belakangku. “Makasih. Aku sudah berharap demikian. Bagaimana denganmu?” “Aku barusan kalah dengan Gekko.” Dia memasang muka memelas. “Masih ada kesempatan buat tahun depan, Sha!” aku berusaha menghiburnya. “Aku belum pernah lolos seleksi sekolah.” “Mungkin kamu belum berusaha maksimal, Sha! Aku tunggu kemenanganmu tahun depan!” “Siap, Jintan! Aku yakin kamu pasti jadi juara hari ini!” “Domo arigatou!” “Jintan!” Naegi dan yang lainnya menuju ke sini guna melihat pertandingan final antara aku dan Ayumi Sakurai, serta Okumura melawan Gekko.
            Aku lebih tekun dari biasanya. Ayumi juga telah mendapat dua skor penuh dari dua pertandingan sebelumnya, sepertiku. Selangkah lagi aku keluar dari neraka jahannam ini. Satu langkah lagi menantiku. Tadi pagi, aku juga menemukan daun semanggi berkelopak empat yang langka. Baru sekali seumur hidupku menemukannya. Dia seperti jimat kemenangan. Aku sangat  percaya diri. Aku memenangkan pertandinganku melawan Ayumi dengan sangat cepat, mungkin aku berhasil mengelabuhi pandangannya. Aku selalu memandang ke arah kiri ketika strategi yang telah ku susun ada di sebelah kanan. Rupanya Okumura juga memenangkan final ini. Jadi aku dan Okumura akan mewakili sekolah untuk berlaga di tingkat kota Teiko. Ya, dua minggu lagi! Aku sudah sangat menantikan kemenanganku yang selanjutnya.
            Seminggu semenjak seleksi sekolah, aku lebih banyak menghabiskan waktu luang ku di perpustakaan, guna membaca buku-buku catur yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit ataupun banyak . Bahkan sejak tujuh tahun yang lalu aku sengaja mempelajari bahasa Rusia agar dapat mengetahui apa sebenarnya isi dari buku catur Rusia. Kurang lebih seratus kosakata Rusia yang baru ku kuasai. Namun itu sudah lebih dari cukup. Teknik menyerangnya sangatlah hebat, namun ada  sedikit masalah dalam pertahanannya. Jadi, aku menggabungkan beberapa pertahanan Fischer ke dalam permainanku.
            “Yosh!” Aku telah sampai di depan aula SMP Glamourchid, dimana akan segera dilangsungkan seleksi tingkat kota. Masing-masing satu meja dan dua kursi yang saling berhadapan telah ditata rapi. Ku lihat denah pertandingan. Alexandria adalah lawan pertamaku. Baka! Tahun kemarin, rating ku di provinsi masih berada di bawahnya. Dia bertengger di posisi pertama, dan aku di nomor dua. Tahun lalu ia menawarkan draw padaku, aku pun menerimanya. Karena waktu itu sangat mendesak, tak memungkinkan untuk memenangkannya.
            Kursi di meja nomor 1 telah ku duduki. Selang beberapa menit kemudian, Alexa menenteng papan catur lipatnya yang kembar denganku. Catur ini pemberian dari pembina provinsi tahun lalu. Kutatap tajam matanya yang angkuh. Senyum sinisnya membuatku bergairah untuk segera menghabisinya. Ah sial! Setelah diundi, dia  berhak atas bidak putih. Itu artinya, ia mempunyai kesempatan untuk jalan duluan.
            Alexa dikenal sebagai ahli pembukaan catur. Tak diragukan bila Alexa memilih varian beresiko pada langkah ke tiga.  Aku sudah biasa menghadapinya, waktu itu kami berlatih bersama, karena kami sama-sama kontingen kota Teiko. Aku mengorbankan menteri dengan imbalan benteng dan mempertahankan ikatan dua pion di barisan 6 dan 7 yang siap promosi serta mendapatkan serangan kuat. Alexa menghindari kalah cepat. Tetapi permainan akhir tidak ada harapan. Pion ku siap dipromosikan menjadi sebuah menteri.
Tampak sekali wajah keputus-asaannya. Lagi-lagi ia menawarkan draw seperti tahun kemarin. Kali ini aku menolaknya. “Sorry Lex, aku butuh kemenangan hari ini untuk tetap berlanjut, karena aku benci sebuah kekalahan.” ucapku padanya. Dia pun menyerah sebab tak ada kemungkinan untuk menang, walau hanya 0,0001%. Alexa bersalaman denganku lalu keluar ruangan. Saat ini aku bisa merasakan betapa sakit jadi dirinya.
Syukurlah, lima pertandingan setelah itu tak ada hambatan. Semuanya berjalan mulus sesuai rencana. Aku sudah banyak belajar melalui kesalahan, dan aku berjanji untuk tidak mengulang kekalahan yang sama. Sore itu aku dinobatkan menjadi juara pertama bersama Tatsuya, juara bertahan cowok tahun lalu. Piala kebanggaan itu kupengang dengan eratnya. Sayang sekali, Okumura yang juga perwakilan SMP Wakatobi harus puas duduk di posisi ke lima. Masih sangat lama perjalananku. Aku masih harus menghadapi lawan yang  levelnya lebih tinggi lagi nantinya.
Seminggu penuh ini aku diperbolehkan ijin dari kegiatan belajar mengajar di sekolah, karena aku  harus difokuskan ke turnamen catur dahulu. Di rumah, aku banyak membaca pembukaan- pembukaan baru seperti: King Indian Samisch, Ruy Lopez Breyer, Closed Sicilian, dan yang kerap dianggap mematikan yaitu Queen Gambit Accepted. Aku berlatih dengan kakakku, Usui Tsuzuku. Belajar memecahkan teka-teki catur juga di komputer. Kakakku telah lolos ke tingkat nasional setelah menuntaskan lawan-lawannya di provinsi empat hari yang lalu. Ayah dan ibu yang sedang di Mar del Plata ikut senang mendengarnya. Aku, kakakku, dan Bi’ Hito, kami di rumah bertiga dua bulan ini. suatu pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan memaksa ayah dan ibuku meninggalkan rumah untuk sementara waktu.
Hari ini aku, Tatsuya, dan para guru pendamping menaiki kereta untuk sampai ke tempat lomba di Kota Daiichi. Jaraknya dengan Teiko lumayan jauh, sekitar 300 km. Alasan kami memilih untuk menaiki kereta api daripada mobil pribadi itu agar menambah pengalaman saja. Setelah membeku di dalam kereta, akhirnya sampai Grand Daiichi Flown Hotel, yang akan menjadi tempat tinggal kami kurang lebih empat hari ke depan.  Hotel ini begitu megah dan mewah, lihat saja terpampang jelas embel-embel ‘Grand’ di nama hotelnya. Setelah check in, kami langsung menata barang yang kami bawa di kamar masing-masing. Aku mendapat kamar nomor 219, Tatsuya kamar nomor 220. Asik, di kamar segedhe ini sendirian, batinku. Terdapat  kolam renang dan taman sakura di halaman belakang hotel. Setelah menata barang-barang bawaanku, Tatsuya dan aku menuju taman sakura dan memotret beberapa foto. Guguran bunga sakura ini menambah keindahan jepretanku.
Tadi malam benar-benar sulit untukku memejamkan mata. Namun tetap kupaksakan dan akhirnya tertidur pulas. Senyaman-nyamannya suatu tempat, tetap lebih nyaman rumah sendiri. Hari ini aku benar-benar fresh dan terlalu bersemangat menjalani gerbang menuju kejuaraan nasional musim panas nanti, yang tinggal satu bulan lagi. Aku optimis bisa memenangkan turnamen ini. Setelah hasil pertarunganku dengan Tatsuya tadi malam yang berakhir seri dengan skor kemenangan masing-masing empat poin, dan draw dua kali. kami menentukan bidaknya dengan batu gunting kertas. Harus kuakui ia pandai bermain batu gunting kertas sehingga banyak memainkan bidak putih..
“Lagi-lagi meja satu?” aku berbicara lirih. Seperti biasanya, sebelum lawanku mengambil posisi duduk, aku selalu mendahuluinya. Sudah kubilang, aku terlalu bersemangat dan bernafsu untuk menang. Alice Kowalsky! Siapa dia, sepertinya aku belum pernah berhadapan dengannya sebelum ini. “Jinchi Hayamimi, ya?” ucapnya tiba-tiba. “Jinchi Hayawakari!” ralatku. “Sumimasen.”  “Kau Alice?” tanyaku padanya. “Ya. Jangan remehkan aku, karena aku akan mengalahkanmu.” Katanya tanpa ragu-ragu. Gak segampang itu, ucapku dalam hati.
Kesombongannya telah menuntunnya ke dasar neraka. Dia dapat kutakhlukkan hanya dalam beberapa menit. Mukanya langsung padam dan ia juga tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia permisi lalu keluar membawa kesombongannya yang hancur dimakan rayap. Pertandingan kedua sangat mulus, pada babak ketiga ada kecurangan yang dilakukan oleh Michelle Y, lalu kulaporkan pada wasit, alhasil dia didiskualifikasi dan malu adalah oleh-oleh yang ia bawa ketika hendak pulang ke daerah asalnya. Kulirik, dia mengepalkan tangan kanannya dengan sekuat  tenaga, itu pasti ditunjukkan kepadaku. Biarlah, kalau ia menganggapku manusia terkejam, namun nyatanya Michelle malah lebih kejam dari manusia terkejam. Ia menggunakan kecurangan dengan memindah satu bidak catur milikku. Itu jelas patut untuk dikeluarkan dari turnamen ini.
“Harap mempersiapkan diri, babak final akan segera dimulai lima menit lagi. Jinchi Hayawakari melawan Chikara Chiga untuk kategori putri, dan Hitonaka Biteki versus Tatsuya Naiji.” Deg! Benar-benar aku telah berjuang mati-matian tidur malam, bangun pagi-pagi untuk catur. Dengan membawa sebotol air putih, aku berlari menuju meja 1, meja yang selalu kududuki di babak-babak sebelummya.  Chika dan aku kerap bertemu di provinsi. Bahkan, tahun lalu aku memenangkannya setelah satu jam semenjak dimulai. Jadi tak ada alasan untuk kalah kali ini.
Setelah bersalaman dan berdoa, kami memulai pertarungan sengit dan bergengsi ini, dimana yang menang akan melaju ke tingkat nasional.  Aku pegang hitam, namun tak masalah.  Ia memulai dengan e2-e4, aku berjalan c7-c5. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan kudanya. Aku hanya membalas d7-d6. Setidaknya ia masih tenang sebelum langkah ke delapan puluhku. G5! Membuat Chika terkejut, juga orang lain yang menyaksikan. Langkah ini merupakan langkah berani milik Grand Master Rusia yang kugunakan. Chika menjadi bimbang, apakah langkah ini muslihat atau sekedar langkah putus asa. Diriku telah menyiapkan langkah ini dengan seksama, bahkan mempelajarinya dari bahasa Rusia.  Sehari sebelum bertanding aku memesan makan malam di kamar hotel sambil terus mempersiapkan variasi ini, apakah akan dimainkan atau tidak.
Setelah langkah ke-89 dengan menempatkan benteng di h7, aku memblok ancaman matt dan merasa posisi aman. Aku meminum air putih beberapa teguk saja. Di belakang berdiri Tatsuya dengan pandangan kagum menikmati permainan penuh komplikasi. Chika menawarkan remis, tapi kutolak mentah-mentah. Aku harus berjuang untuk menang jika ingin bertemu Akana  Najyenka di turnamen catur musim panas di kota Pandain. Waktu hampir habis, namun kedua dari kami belum menunjukkan tanda kemenangan. 5 menit ini akan menentukan nasibku selanjutnya. Wasit memberi aba-aba tanda pertandingan telah berakhir. Juri meninjau posisi bidak  yang lebih berpotensi untuk menang.
Hitam, win! Semuanya berpihak kepadaku. Domo arigatouuu! Orang yang pertama kuhampiri ialah Tatsuya. “Bagaimama denganmu?” “Jangan khawatirkan aku, aku juga menang.” ucapnya datar. “Saya yakin penduduk kota akan bangga dengan kalian, yang menyabet dua emas sekaligus.” Tukas pelatih dari kota kami. Aku seperti memaksa pintu surga yang tadinya hanya ada sedikit celah menjadi terbuka lebar. Master nasional Daisuke Akashi mengalungkan medali emas di leher kami. Suatu kehormatan bagi juara satu sampai tiga, putra maupun putri. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya diperbolehkan mengirimkan 1 kandidat putra, dan 1 kandidat putrid ke kejuaraan nasional.
Satu hari semenjak kejadian itu, kami terus dibimbing oleh pelatih di provinsi. Sudah satu bulan kami tak pulang ke kota Teiko tercinta. It’s something! Kangen lawakan kakakku yang terkadang garing, nasi goreng ala chef  Usui yang baunya, wah! Rindu nasihat dari sahabat-sahabatku yang kadang tak bermutu dan tak jarang ngelantur. Mungkin sekarang kakakku juga sedang dilatih oleh provinsi, di tempat yang berbeda.
Summer time has been coming! Aku menari-nari ria di depan cermin besar kamar hotel. Pada hari spesial ini aku mengenakan stelan jaket dan celana training biru, tak lupa memakai topinya. Aduh belum menang saja telah terlihat keren setelah mengenakannya. Kunamakan hari ini ‘Jintan’s Day’. Ya, hari ini harus menjadi milikku. Aku keluar dari kamar setelah memakai sport shoes, dan menenteng tas hitam yang sudah berisikan papan catur lipat baru yang kemarin telah kubeli di bandara V.K  Sky apalah, aku tak tau kepanjangan dari V dan K-nya. Tak lupa aku membawa satu botol air putih, dan juga sebotol orange juice favoritku.
Ternyata Tatsuya telah menungguiku  di luar. Kami menelusuri lorong-lorong hotel ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat pertandingan, aku terus berdoa tiada henti. Di kejuaraan nasional ini, aku akan bermain sebanyak lima kali, dengan sistem swiss. Aku kini menduduki bangku nomor 7, dengan lawan pertamaku Yui Lizaa. Dia cukup cerdik memanfaatkan peluang, untuk melancarkan tipuannya, sehingga aku sedikit kewalahan menghadapinya. Namun setelah sembilan puluh menit berlalu, akhirnya aku memenangkannya. Awal yang tak begitu buruk. Setelah menghadapi Lizaa, aku juga memenangkan Reina D, kalah dengan Yuka Jenna, menang mutlak atas Misaki Ayuzawa.
Sret! Kutelusuri papan denah permainan dengan jari telunjukku. Akana Najyenka! Ya aku akan melawannya di babak kelima ini.  Dia sudah mengumpulkan 4  poin penuh, aku tertinggal satu poin darinya. Kami memulainya dengan saling adu indera penglihatan. Aku ingin sekali menghabisinya sekarang juga.  Ia mengeluarkan papan catur dan bidak perunggunya yang telah melegenda.
Variasi Sicilian Najdrof  kembali dimainkan. Aku menghindari pion beracun seperti kalah pada babak ketiga. Najyenka mendapat pion, tetapi bidaknya tidak berkembang. Pionku yang sengaja kuhilangkan, menjadi pembuka jalan bagi luncus dan menteri. Penonton ikut tegang menyaksikan ini. Mungkin di dalam hati, mereka menebak langkah-langkah selanjutnya.  Sejak awal partai mengarah ke draw. Najyenka menawarkan  remis pada angkah ke 39 tentu saja kutolak. Mungkin karena jengkel dia jadi melangkah lemah. Aku dengan segera mengambil keuntungan. Memaksa pertukaran kuda.
Hitam tidak rokade panjang, bermaksud menyerang di sayap menteri. Aku mencadangkan langkah jika hitam bermaksud bertukar menteri di b5. Benar, dia memaksakan langkah itu. Aku menghindarinya dengan sekejap.
Tanpa memindahkan benteng ke f6 sulit bagiku mengkombinasi untuk menghabisi bidak hitam. Najyenka mungkin berharap aku menjalankan e5 f5! Tidak menduga mendapat kejutan fatal.” “Checkmate!” ucapku lantang. Penonton terpana melihatnya.  Mereka bertepuk tangan meriah.Otomatis aku dinyatakan menang atas Akana Najyenka. Secara tak langsung, aku telah membuktikan ketidakmempanan catur perunggunya. Ekspresi Najyenka geram. Ia berusaha menyembunyikan air matanya yang nyaris banjir itu.
“The first winner is... Yuka Jenna ! dengan perolehan 4,5 poin dari 5 pertandingan.” Ia lansung dikalungi oleh  Woman Grand Master Michio Smyslov dengan medali emas yang tentunya sudah diidam-idamkan sebelumnya. “The runner up is…” Aku terus berdoa agar aku yang dipanggil namanya oleh WGM Michio Smyslov. “Is… Shu Makari!” kulihat perempuan itu dengan bangganya berjalan menuju ke depan pemirsa, berharap diberikan segelinding medali perak. Aku benar-benar menangis terisak. Tuhan, apakah aku akan menerima kekecewaan untuk kedua kalinya. Mungkin aku memang belum ditakdirkan masuk pelatnas.


Ada seseorang tak kukenal membisikkan sesuatu pada juri. “Maaf Makari, anda seharusnya belum berhak untuk ini.” ucap WGM Michio Smyslov sambil melepaskan medali perak yang telah dikalungkan kepada Makari. Makari menuruni panggung dengan penuh kekecewaan. Aku tahu rasanya.  “The runner up is..Jinchi Hayawakari! Anda lebih berhak untuk ini. Maaf kami salah mengurutkannya. Jinchi mendapat 4 poin dari 5 pertandingan.” Aku masih tak percaya mendengarnya. Aku terharu, bahagia, kaget campur tak percaya. Aku masuk pelatnas? Aku menepuk pipiku keras-keras. “Itaiii!” Ini bukan sekedar mimpi saja. Aku berlari menuju panggung dengan berlinangan air mata kebahagiaan.  Kuciumi medali perak yang barusaja kuterima. Senangnya. “Pemenang ketiga ialah…Akana Najyenka!” dia sudah merasa lebih baik setelah dikalungkan medali perunggu. Setelah kami berfoto bersama dan menerima uang bimbingan, kami dipersilahkan kembali. Di depan pintu masuk aula, kulihat kedua orang tuaku, dan kakakku yang tersenyum bangga. Apa itu yang berada di lehernya? Mungkinkah medali emas? Kalau benar begitu, aku jadi agak iri dengannya. Namun jika demikian, aku juga bangga memiliki kakak sepertinya. Terimakasih banyak telah mengajariku dari awal sampai sejauh ini! Domo arigatou! Keberhasilanku ini juga tak lepas dari kerja kerasku serta doa-doa yang senantiasa menyertaiku. Ini merupakan musim panas teristimewa sepanjang hidupku! Aku harus bersiap untuk Kejuaraan catur  di Chiang Mai, Thailand di musim dingin nanti. One step closer. .

No comments:

Post a Comment