Jintan no Chesu
Karya Lena Sutanti
Ave Mizuke masih lengang. Hanya satu dua kendaraan lewat dalam sepuluh menit. Perbedaan yang sangat menonjol dari biasanya. Mereka enggan keluar rumah karena cuaca lima derajat celsius di bawah nol. Tak peduli sedingin bahkan sepanas apa pun itu, pergi sekolah itu wajib, kecuali memang ada urusan yang tak mungkin bisa ditinggalkan. Ah urusan ya.. aku banyak memilikinya namun aku tetap berangkat ke sekolah.
Aku mengenakan syal, sepatu boot,
dan kaos tangan yang serba oranye. Mungkin kalian akan mengira oranye adalah
warna yang paling ku suka. Anda salah. Kenyataannya, aku akan lebih gembira
ketika seseorang membelikan benda-benda itu yang berwarna putih.
Warna putih itu simbol kesucian.
Lantas apakah aku layak disebut suci. Paling tidak aku selalu berusaha seperti
putihnya salju yang jatuh ke bumi. Anehnya, aku tak suka bila warna kulitku
putih. Memiliki kulit hitam manis sepertinya terlihat eksotis. Memang itu yang
kudambakan. Itu sebabnya aku tak pernah memakai sedulit lotion merk dan jenis
apa pun.
Klorofil-klorofil pada daun
sycamore posisinya sedang digantikan oleh salju. Mereka kalah battle saat musim
dingin. Tapi musim semi nanti mereka bertekad membalas kekalahannnya. Klorofil-klorofil
itu sekarang bergegas menyusun strategi di tempat yang masih dirahasiakan. Rapat
raksasa itu diikuti oleh bermilyar-milyar klorofil. Mereka bergantian
mengusulkan strategi. Bernyanyi, menari bersama dengan musik harmoni alam yang
manusia normal tak bisa mendengar. Sudah jelas berfrekuensi infrasonik.
“Ohayo Jintan!” buru-buru aku
menengok sekelilingku. Di seberang jalan terlihat Naegi melambai-lambaikan
tangannya. “Ohayo Naegi!” aku membalas lambaiannya. Sebenarnya namaku Jinchi.
Dulunya Naegi memanggilku Jin-chan, namun sekarang telah berevolusi menjadi ‘Jintan’.
Teman-temanku juga ikut-ikutan memanggilku ‘Jintan’. Naegi menungguku
menyebrang jalanan lengang itu. Lalu
kami berjalan berdampingan menuju ke sekolah. “Oi Naegi.” setelah beberapa
menit terdiam, aku mulai angkat bicara. “Naanii?” Naegi mengerutkan dahinya.
“Nggak dingin apa tanpa syal gitu?” “Dinginlah. Habisnya syalku nggak ketemu
sih, daripada aku sibuk nerusin nyari syalnya yang belum pasti ketemu itu,
mending aku langsung berangkat aja. Kalau aku nyari syal terus terlambat
sekolah kan tambah gawat, ntar aku malah disuruh lari ngelilingi lapangan
basket, lebih dingin dong.” jelas Naegi panjang lebar. ‘’Yosh!’’
“Jintan, Naegi! Berdua aja?” sapa
orang yang tak lain Himuro. “Iya, tadi kami nggak sengaja ketemu.” “Oh begitu
Naegi.” jawab Himuro singkat. “Aku kepengen kita semua makan bareng di bawah
pohon sakura musim semi.” pinta Himuro. “Ngapain nunggu musim semi segala,
nanti pulang sekolah kan bisa.” “Oke, nanti sepulang sekolah kita makan
sukiyaki bareng-bareng.” usulku. “Jangan sukiyaki deh, aku gak suka sayur.” bantah
Himuro. “Pantesan, tubuhmu jadi kek gentong gitu!” “Percaya deh yang tubuhnya
kayak bambu.” balas Himuro. “Ya ampun, kalian kayak anak kecil aja.” leraiku.
“Habis Naegi mulai duluan.” “Ga peduli ah.” ucapku menahan tawa melihat ekspresi
kocak Himuro. “Gimana kalau makan mi soba aja?” Himuro sangat bersemangat. “Apa
aja enak, asal kita makannya bebarengan!” cetus Naegi. “Oke, sudah diputuskan,
nanti pulang sekolah kita beli mi soba. Kita ajak Naomi dan Mugi juga! “Siip
Jintan!” mereka menyahutku bersamaan.
Gedung SMP Wakatobi mulai
terlihat jelas. Terlihat sepi karena semua anak berada di dalam kelas. Ada jam
raksasa di halaman depan sekolah. Biasanya kaca jam berkilau bila diterpa sinar
mentari. Sekarang kaca 70% tak terlihat. Dia tertutup oleh salju-salju yang
telah membeku. Angka yang terlihat juga hanya angka sembilan dan delapan saja.
Yang lainnya bersembunyi dibaliknya.
“Daaa Naegi, Himuro! Aku masuk
kelas dulu!” teriakku. “Oke.” jawab mereka kompak. Aku masuk kelas namun tak sesemangat
tadi. Aku menggeletakkan tas ku, bersamaan denganku Kyosha juga meletakkan
tasnya di bangku yang sama. “Aku udah di sini duluan!” sergah ku. “Aduh, gimana
kalau kita tentuin ini lewat permainan catur?” Kyosha mengedipkan mata sebelah
kirinya. “Siapa takut.” jawabku tanpa ragu.
Dengan ditonton oleh anak-anak
yang ada di kelas, aku dan Kyosha berhadap-hadapan dan mulai menunjukkan
kemampuan kami. Aku menatap matanya setajam mungkin. Tak ku duga dia
menyadarinya secepat itu. Kyosha tersenyum sinis. “Kyosha! Kyosha! Jintan!
Jintan!” sorakan dari para penonton.
Aku baru tahu kalau Kyosha juga
bisa main catur. Tapi tetap saja aku mampu mengalahkannya setelah semua pikiran
ku kerahkan. “Oke, kamu boleh duduk di sini Jintan.” pasrah Kyosha. “Nggak ah,
kamu yang di sini aja, aku seneng kok kamu udah ngajakin aku main catur.” ucapku
dengan disertai senyuman. “Lho?’’ Kyosha tampaknya bingung.
“Udah delapan bulan semenjak
kejadian itu, aku jadi males main catur.” ucapku padanya. “Tunggu, apa maksud
dari ‘kejadian itu’ ?” Kyosha semakin penasaran dengan apa yang baru saja ku
katakan. “Nanti waktu pulang sekolah aja ya, ntar kamu nunggu aku di atap ya,
soalnya ini bel masuk hampir berbunyi.” kataku menunda. “Oke, Jintan.” Kyosha
lagi-lagi mengedipkan mata kirinya tanda setuju mungkin.
Jam pelajaran Bahasa Inggris
telah usai, itu berarti waktu senangku telah berakhir juga. Sekarang waktunya
Pendidikan Kewarganegaraan atau kerap disingkat menjadi PKN. Inilah pelajaran
yang paling memuakkan sekaligus menyeramkan bagiku. Pelajaran keramat! Itu
julukan di kelasku, mungkin akan berubah pula di kelas lain, seperti ‘pelajaran
kematian’, ‘pelajaran pembunuh’ dan masih banyak lagi. Seperti momok, memang tidak
hanya aku yang berpikir demikian. Entahlah! Aku tak bisa mendiskripsikan
alasanku untuk ini. Aku tidak terlalu serius saat guru PKN menerangkan. Pikiranku melayang dibawa
oleh angin gunung yang berhembus kencang.
“Jinchi!” sebuah suara
menyadarkanku dari lamunan barusan. Sial! Padahal lagi enak-enaknya nih,
batinku. “Mengapa kita harus menghindari peperangan?” tanya Bu Keiko, sang guru
PKN kepadaku. Aku memutar otakku. “Agar…eh agar…” belum selesai aku
mengutarakan jawabanku, Okii memotongnya, “Agar-agar?” seisi kelas tertawa
renyah. “Diam semua! Agar apa Jinchi?” Tanya Bu Keiko lagi. “Agar para pelajar
tidak banyak mengafal nama pahlawan yang gugur, Bu.” Ucapku lantang penuh
semangat. Kulihat siswa dan siswi di kelas menahan tawanya yang telah di ujung
tanduk. “Baka Jinchi!” makanya kalau di kelas jangan banyak melamun kau!” kali
ini Bu Keiko memasang tampang marah. “Gomennasai.” ucapku polos.
“Kau ini cuman minta maaf terus-terusan, tapi
kesalahan yang sama masih terus dilakukan. Harusnya intropeksi diri dong!” aku
hanya terdiam dan pasrah mendengarkan omelan Bu Keiko. Celotehan itu sudah
menjadi makanan ku ketika pelajaran PKN berlangsung. “Jinchi, keluar saja kamu!
Kamu ini penghambat di kelas saya. Boleh guru yang lain mengatakan kau pintar
ini lah, itulah, multilatent lah, atau apa lah, tapi kau memang hama di
pelajaran PKN! Alias kau lemah sekali.” Aku langsung berlari ke luar ruangan
kelas tanpa menyangkalnya. Ku tak ingin seisi kelas melihat tetesan air mata
ku. Sudah kuduga, Bu Keiko memang sangat membenciku. Walaupun begitu aku tak
membencinya. Tujuanku kali ini ialah perpustakaan. Ku lihat dalamnya ramai
sekali sepertinya sedang ada pusat perhatian.
“Jinchi! Kamu ikut nggak?” Tanya
seseorang yang tak lain Okazaki. “Hah? ikut apaan?” aku melongo. “Seleksi
turnamen catur musim panas.” Jelas Okazaki. “Oh turnamen catur ya.. Nggak usah
tanya, aku pasti ikut!!!” ucapku dengan semangat membara. “Sebulan lagi akan
diadakan seleksi tingkat sekolah, lalu dilanjut tingkat kota, lalu provinsi,
dan akhirnya nasional. Juara satu, dua, dan tiga nasional akan ikut pelatnas!”
terangnya. “Kalau itu sih, aku udah tau.” Aku pergi meninggalkannya guna
melihat keramaian di perpustakaan. Ternyata memang benar. Di sana terpampang
nyata poster turnamen catur musim panas. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa
aku akan menjadi juaranya!
Sepulang sekolah aku, Himuro,
Naomi, Naegi, dan Mugi mengunjungi restoran mi soba biasanya. Kami memesan mi
soba, dan memakannya bersamaan. Kami terlihat sangat lahap sekali menelannya.
“Hmm. Udah lama kita nggak nongkrong di sini berlima ya?” Naomi mulai angkat
bicara. “Iya, habis kita sering sibuk. Hahahaha!” ucapku. “Coba jelaskan padaku
di mana letak kesibukannya?!” Naegi nyambung. “Sibuk ngerjain PR, sibuk nonton
anime, ah banyak deh lainnya.” Jelasku. “Iya juga sih, PR aja seabreg gitu.”
Mugi menyahut. “Huahahahahaha!” kami berlima tertawa tanpa beban.
Hingga akhirnya aku teringat
sesuatu. “Eh iya, aku tadi udah janji sama Kyosha. Aku pergi dulu ya
kawan-kawan!” “Ehm.. ada apa antara Jintan sama Kyosha?” pancing Naegi dengan
tatapan aneh. “Ada yang harus ku bicarakan dengannya.” “Wow, jangan-jangan…”
“Ya nggak mungkin lah!” aku menyela perkataan Himuro yang belum selesai. “Oh,
aku kira kamu mau bilang kalau…” buru buru aku membungkam bibir Naomi yang mau
nerocos seenaknya. “Bye!” aku mengambil langkah cepat dan meninggalkan mereka
berempat.
Sampai sekolah, aku langsung
menuju ke atap. Ada seorang cowok yang berdiri tegap memandangi keidahan kota
di sana. Ya kalau bukan Kyosha, siapa lagi. Ternyata dia memang menungguku.
“Maaf Sha! Barusan aku ada janji juga sama temen-temenku di restoran soba.” Aku
merasa sangat bersalah padanya. “Tenang Jintan, aku nggak bakal marah kok.”
Kyosha berusaha menyembunyikan wajah kekecewaannya dengan memasang senyuman.
“Sebenernya… delapan bulan yang lalu itu…” aku terasa berat mengutarakannya.
“Kenapa Jintan? Kamu dan sahabat-sahabatmu bertengkar? Itu udah wajar kok.”
“Bukan itu Sha!” sergahku. “Terus apa? Bilang aja.” Kyosha mendesak, sepertinya
dari tadi ia memang sudah sangat penasaran tentang apa yang akan ku katakan.
“Delapan bulan lalu… aku menang
seleksi turnamen catur musim panas di sekolah, lalu aku mewakili SMP Wakatobi
untuk berlomba di tingkat kota, dan aku juara satu, setelah itu aku mewakili
kota Teiko dan berlaga di tingkat provinsi, aku juara dua, namun aku tetap ikut
berlomba di tingkat nasional karena dari setiap provinsi diambil tiga perwakilan.
Nah setelah itu aku gagal di turnamen nasional. Aku di peringkat empat! Nyaris
sekali aku mengikuti pelatnas dan berlaga di turnamen catur di luar negeri, aku
sangat kecewa Sha! Kecewa sekali, sakit Sha rasanya. Maaf Sha, aku jadi curhat
begini.” Ceritaku panjang lebar.
“Hahahaha!” Kyosha mendadak
tertawa. “Lho kok malah ketawa Sha?” aku memasang muka cemberut. “Habisnya
Jintan nggak bersyukur, sih! Juara empat nasional itu udah istimewa lho! Aku
aja seleksi sekolah nggak lolos kok.” Ucap Kyosha. “Tapi kamu nggak tau betapa
kecewanya kalau seperti itu, Sha!” “Jintan! Yang penting kamu kan masih punya
kesempatan buat ikut lagi tahun ini, kan! Udah deh, daripada kamu menyesali hal
yang udah berlalu, mending kamu buat masa lalu itu sebagai cermin untuk melangkah
jauh ke depan lagi. Aku yakin kamu bisa, Jintan!” “Makasih semangatnya ya, Sha!
Akan selalu kuingat. Kamu mau nggak, jadi sahabatku?” tawarku. “Aku udah
menganggapmu sebagai sahabat kok, Jintan.”
Malamnya aku masih terpikir oleh
kata-kata mutiara Kyosha tadi siang. Aku tak mengira sebelumnya jika Kyosha bisa
sebijak itu. “Kak, ayo main catur sebentar!” ajakku pada kakakku, Usui. “Lho?
Kenapa tiba-tiba ngajak gitu?” Kak Usui heran. “Gak ada salahnya kan, hampir ada
turnamen catur musim panas!” paparku. “Oh, kakak juga udah denger dari SMA ku
kalau itu. Aku juga ikut, dek. Aku mewakili sekolah.” Pamernya. “Udah seleksi
sekolah?” “Aku langsung ditunjuk buat perwakilan sekolah!” “Widih, sombongnya!
Tapi, selamat ya, kak. Ayo kita latihan bareng!” ajakku. “Ok! Syukurlah kamu
udah semangat gitu. Ada yang nyemangatin kamu? Siapa?” kakakku penasaran.
“Nggak penting, ah!” aku dan kakakku mulai menata bidak-bidak catur di papan
hitam putih. “It’s your turn, Jintan!” ucap kak Usui. Aku mulai duluan karena
aku pegang bidak putih.
Aku mulai belajar catur ketika
berumur enam tahun bersama kakakku, Usui Tsuzuku yang dua tahun lebih tua dari
ku. Kami belajar dari papan catur yang dibeli kak Usui di toko perlengkapan
olahraga dekat kompleks perumahan. Segera saja, catur menjadi perhatian
utamaku. Pecatur idolaku adalah Bobby Fischer, asal Chicago, Amerika. Dia juga
anak ke dua dari dua bersaudara sepertiku. Aku selalu saja kalah jika bermain
dengan kakakku. Dia sangat jenius. Baru satu dua kali saja aku menang
melawannya. Jika aku menang dengannya, dia hanya menganggap itu hanya sebuah
keberuntungan semata. Ya memang begitulah kenyataannya. Walaupun demikian, aku
tetap berusaha untuk mengalahkannya di setiap kesempatan. Namun, kita belum
pernah bertemu di pertandingan yang sesungguhnya, karena aku ikut kejuaraan
SMP, dan dia mengikuti kejuaraan SMA.
Aku ingin bertemu Akana Najyenka
lagi guna membalas kekalahanku tahun lalu. Gara-gara dia, aku tak jadi merebut
medali nasional dan juga gagal masuk
pelatnas. Padahal itulah impianku sejak kecil. Untuk dapat menghadapinya lagi,
aku harus memenangkan mulai dari awal lagi. Ia kondang dengan papan catur
perunggunya yang melegenda, yang telah menjadi perlambang kehebatannya. Papan
catur perunggu itu adalah medan tempurnya dan ia tak pernah kalah di medan tempurnya
sendiri. Pecatur lain percaya bahwa ilmu hitam telah mengambil bagian dalam
urusan papan catur perunggu itu.
Konon, Akana tak pernah bisa
dikalahkan jika berlaga dengan papan catur itu, dan memegang bidak putih. Ia
mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertahan dan menyerang. Mungkin bukan
hanya papan caturnya yang hebat, orangnya juga hebat, taktik menyerangnya
mematikan! Kudanya seperti kuda sungguhan yang perkasa, bentengnya terlalu
kuat, rajanya terlihat memandang sinis, menteri selalu mempunyai peran rangkap.
Attack, Defense! Luncusnya bagai bidadari cantik yang selalu meluncur dari
sudut ke sudut. Aih moleknya.
Tak terasa satu bulan berjalan
sangat amat cepat. Tetapi, tetap tak mampu sepadan dengan kecepatan rambat
cahaya yang sekitar tiga kali 108 meter per detik. Bayangkan, betapa
cepat pergerakannya! Pagi ini, akan dilaksanakan seleksi catur untuk memilih siapa yang layak menjadi perwakilan
SMP Wakatobi. Tadi malam aku susah tidur, aku sibuk menyusun strategi baru
untuk mengalahkan lawanku nanti secara tepat dan mudah tentunya.
“Tumben udah nyampe sepagi ini,
Jintan!” ucap Kyosha. “Lah, kamu juga!” “Aku ingin ikut seleksi turnamen itu
lagi, Jintan! Katanya tahun ini akan dipilih dua perwakilan dari sekolah, satu
cowok, satu cewek.” Terang Kyosha. “So desu ka.” Sebelum mengikuti seleksi, aku
tak hentinya memanjatkan doa kepada Tuhan agar aku diberi kemudahan
menakhlukkan lawan-lawanku nanti. Mungkin mereka agak lebih sedikit tangguh
dari setahun yang lalu.
Lawan pertama ku kali ini adalah
Tanaka Minami. Hanya sepuluh menit setelah permainan dimulai, aku dengan mudah
menumbangkannya. Seleksi ini menggunakan sistem gugur, dan otomatis Minami
langsung tak mengikuti babak dua. Di samping mejaku tempat menghadapi Minami,
Kyosha sedang sibuk memikirkan langkah selanjutnya. Setelah berusaha mati-matian,
Kyosha dapat merobohkan Dansk Stronovsky, murid baru pindahan dari Rusia.
Syukurlah, dia juga menang di babak awal.
Kedua, aku berhadapan kembali dengan
Kaze Aiko, yang tahun lalu pernah kukalahkan di perempat final seleksi sekolah.
Mungkin, dia dendam sekali denganku yang telah menghalangi langkahnya menuju
perwakilan sekolah. Namun, aku juga tak akan mengalah begitu saja. Aku tetap
harus menang walau banyak sekali orang yang harus benci dengan diriku. Aku
hanya ingin menunjukkan jati diriku yang sesungguhnya. Dia mengambil langkah
yang sangat gegabah hingga berulang kali menjatuhkan bidak catur. Entah itu
disengaja atau tidak, namun setelah pertarungan sengit ini, aku tetap
mengalahkannya. Pupus sudah impian Aiko. Dia menatapku nanar. Aku minta maaf,
tapi dia tak meresponku sama sekali, dan malah pergi. Dasar! Apa boleh buat,
yang penting aku telah meminta maaf padanya. Ini kan juga bukan kesalahanku.
“Selamat Jintan! Kau sudah dipastikan
lolos seleksi ini!” tiba-tiba Kyosha sudah berdiri di belakangku. “Makasih. Aku
sudah berharap demikian. Bagaimana denganmu?” “Aku barusan kalah dengan Gekko.”
Dia memasang muka memelas. “Masih ada kesempatan buat tahun depan, Sha!” aku
berusaha menghiburnya. “Aku belum pernah lolos seleksi sekolah.” “Mungkin kamu
belum berusaha maksimal, Sha! Aku tunggu kemenanganmu tahun depan!” “Siap,
Jintan! Aku yakin kamu pasti jadi juara hari ini!” “Domo arigatou!” “Jintan!”
Naegi dan yang lainnya menuju ke sini guna melihat pertandingan final antara
aku dan Ayumi Sakurai, serta Okumura melawan Gekko.
Aku lebih tekun dari biasanya. Ayumi
juga telah mendapat dua skor penuh dari dua pertandingan sebelumnya, sepertiku.
Selangkah lagi aku keluar dari neraka jahannam ini. Satu langkah lagi
menantiku. Tadi pagi, aku juga menemukan daun semanggi berkelopak empat yang
langka. Baru sekali seumur hidupku menemukannya. Dia seperti jimat kemenangan.
Aku sangat percaya diri. Aku memenangkan
pertandinganku melawan Ayumi dengan sangat cepat, mungkin aku berhasil
mengelabuhi pandangannya. Aku selalu memandang ke arah kiri ketika strategi
yang telah ku susun ada di sebelah kanan. Rupanya Okumura juga memenangkan
final ini. Jadi aku dan Okumura akan mewakili sekolah untuk berlaga di tingkat
kota Teiko. Ya, dua minggu lagi! Aku sudah sangat menantikan kemenanganku yang
selanjutnya.
Seminggu semenjak seleksi sekolah,
aku lebih banyak menghabiskan waktu luang ku di perpustakaan, guna membaca
buku-buku catur yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit ataupun banyak .
Bahkan sejak tujuh tahun yang lalu aku sengaja mempelajari bahasa Rusia agar
dapat mengetahui apa sebenarnya isi dari buku catur Rusia. Kurang lebih seratus
kosakata Rusia yang baru ku kuasai. Namun itu sudah lebih dari cukup. Teknik
menyerangnya sangatlah hebat, namun ada
sedikit masalah dalam pertahanannya. Jadi, aku menggabungkan beberapa
pertahanan Fischer ke dalam
permainanku.
“Yosh!” Aku telah sampai di depan
aula SMP Glamourchid, dimana akan segera dilangsungkan seleksi tingkat kota.
Masing-masing satu meja dan dua kursi yang saling berhadapan telah ditata rapi.
Ku lihat denah pertandingan. Alexandria adalah lawan pertamaku. Baka! Tahun
kemarin, rating ku di provinsi masih berada di bawahnya. Dia bertengger di
posisi pertama, dan aku di nomor dua. Tahun lalu ia menawarkan draw padaku, aku
pun menerimanya. Karena waktu itu sangat mendesak, tak memungkinkan untuk
memenangkannya.
Kursi di meja nomor 1 telah ku
duduki. Selang beberapa menit kemudian, Alexa menenteng papan catur lipatnya yang
kembar denganku. Catur ini pemberian dari pembina provinsi tahun lalu. Kutatap
tajam matanya yang angkuh. Senyum sinisnya membuatku bergairah untuk segera
menghabisinya. Ah sial! Setelah diundi, dia
berhak atas bidak putih. Itu artinya, ia mempunyai kesempatan untuk
jalan duluan.
Alexa dikenal sebagai ahli pembukaan
catur. Tak diragukan bila Alexa memilih varian beresiko pada langkah ke
tiga. Aku sudah biasa menghadapinya,
waktu itu kami berlatih bersama, karena kami sama-sama kontingen kota Teiko.
Aku mengorbankan menteri dengan imbalan benteng dan mempertahankan ikatan dua
pion di barisan 6 dan 7 yang siap promosi serta mendapatkan serangan kuat.
Alexa menghindari kalah cepat. Tetapi permainan akhir tidak ada harapan. Pion
ku siap dipromosikan menjadi sebuah menteri.
Tampak sekali wajah
keputus-asaannya. Lagi-lagi ia menawarkan draw seperti tahun kemarin. Kali ini
aku menolaknya. “Sorry Lex, aku butuh kemenangan hari ini untuk tetap
berlanjut, karena aku benci sebuah kekalahan.” ucapku padanya. Dia pun menyerah
sebab tak ada kemungkinan untuk menang, walau hanya 0,0001%. Alexa bersalaman
denganku lalu keluar ruangan. Saat ini aku bisa merasakan betapa sakit jadi
dirinya.
Syukurlah, lima pertandingan
setelah itu tak ada hambatan. Semuanya berjalan mulus sesuai rencana. Aku sudah
banyak belajar melalui kesalahan, dan aku berjanji untuk tidak mengulang
kekalahan yang sama. Sore itu aku dinobatkan menjadi juara pertama bersama Tatsuya,
juara bertahan cowok tahun lalu. Piala kebanggaan itu kupengang dengan eratnya.
Sayang sekali, Okumura yang juga perwakilan SMP Wakatobi harus puas duduk di
posisi ke lima. Masih sangat lama perjalananku. Aku masih harus menghadapi
lawan yang levelnya lebih tinggi lagi
nantinya.
Seminggu penuh ini aku
diperbolehkan ijin dari kegiatan belajar mengajar di sekolah, karena aku harus difokuskan ke turnamen catur dahulu. Di
rumah, aku banyak membaca pembukaan- pembukaan baru seperti: King Indian Samisch, Ruy Lopez Breyer,
Closed Sicilian, dan yang kerap dianggap mematikan yaitu Queen Gambit Accepted. Aku berlatih
dengan kakakku, Usui Tsuzuku. Belajar memecahkan teka-teki catur juga di
komputer. Kakakku telah lolos ke tingkat nasional setelah menuntaskan
lawan-lawannya di provinsi empat hari yang lalu. Ayah dan ibu yang sedang di
Mar del Plata ikut senang mendengarnya. Aku, kakakku, dan Bi’ Hito, kami di
rumah bertiga dua bulan ini. suatu pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan memaksa
ayah dan ibuku meninggalkan rumah untuk sementara waktu.
Hari ini aku, Tatsuya, dan para
guru pendamping menaiki kereta untuk sampai ke tempat lomba di Kota Daiichi.
Jaraknya dengan Teiko lumayan jauh, sekitar 300 km. Alasan kami memilih untuk
menaiki kereta api daripada mobil pribadi itu agar menambah pengalaman saja.
Setelah membeku di dalam kereta, akhirnya sampai Grand Daiichi Flown Hotel,
yang akan menjadi tempat tinggal kami kurang lebih empat hari ke depan. Hotel ini begitu megah dan mewah, lihat saja
terpampang jelas embel-embel ‘Grand’ di nama hotelnya. Setelah check in, kami
langsung menata barang yang kami bawa di kamar masing-masing. Aku mendapat
kamar nomor 219, Tatsuya kamar nomor 220. Asik, di kamar segedhe ini sendirian,
batinku. Terdapat kolam renang dan taman
sakura di halaman belakang hotel. Setelah menata barang-barang bawaanku,
Tatsuya dan aku menuju taman sakura dan memotret beberapa foto. Guguran bunga
sakura ini menambah keindahan jepretanku.
Tadi malam benar-benar sulit
untukku memejamkan mata. Namun tetap kupaksakan dan akhirnya tertidur pulas. Senyaman-nyamannya
suatu tempat, tetap lebih nyaman rumah sendiri. Hari ini aku benar-benar fresh
dan terlalu bersemangat menjalani gerbang menuju kejuaraan nasional musim panas
nanti, yang tinggal satu bulan lagi. Aku optimis bisa memenangkan turnamen ini.
Setelah hasil pertarunganku dengan Tatsuya tadi malam yang berakhir seri dengan
skor kemenangan masing-masing empat poin, dan draw dua kali. kami menentukan
bidaknya dengan batu gunting kertas. Harus kuakui ia pandai bermain batu
gunting kertas sehingga banyak memainkan bidak putih..
“Lagi-lagi meja satu?” aku
berbicara lirih. Seperti biasanya, sebelum lawanku mengambil posisi duduk, aku
selalu mendahuluinya. Sudah kubilang, aku terlalu bersemangat dan bernafsu
untuk menang. Alice Kowalsky! Siapa dia, sepertinya aku belum pernah berhadapan
dengannya sebelum ini. “Jinchi Hayamimi, ya?” ucapnya tiba-tiba. “Jinchi
Hayawakari!” ralatku. “Sumimasen.” “Kau
Alice?” tanyaku padanya. “Ya. Jangan remehkan aku, karena aku akan
mengalahkanmu.” Katanya tanpa ragu-ragu. Gak segampang itu, ucapku dalam hati.
Kesombongannya telah menuntunnya
ke dasar neraka. Dia dapat kutakhlukkan hanya dalam beberapa menit. Mukanya
langsung padam dan ia juga tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia permisi lalu
keluar membawa kesombongannya yang hancur dimakan rayap. Pertandingan kedua
sangat mulus, pada babak ketiga ada kecurangan yang dilakukan oleh Michelle Y,
lalu kulaporkan pada wasit, alhasil dia didiskualifikasi dan malu adalah
oleh-oleh yang ia bawa ketika hendak pulang ke daerah asalnya. Kulirik, dia
mengepalkan tangan kanannya dengan sekuat tenaga, itu pasti ditunjukkan kepadaku.
Biarlah, kalau ia menganggapku manusia terkejam, namun nyatanya Michelle malah
lebih kejam dari manusia terkejam. Ia menggunakan kecurangan dengan memindah
satu bidak catur milikku. Itu jelas patut untuk dikeluarkan dari turnamen ini.
“Harap mempersiapkan diri, babak
final akan segera dimulai lima menit lagi. Jinchi Hayawakari melawan Chikara
Chiga untuk kategori putri, dan Hitonaka Biteki versus Tatsuya Naiji.” Deg!
Benar-benar aku telah berjuang mati-matian tidur malam, bangun pagi-pagi untuk
catur. Dengan membawa sebotol air putih, aku berlari menuju meja 1, meja yang
selalu kududuki di babak-babak sebelummya.
Chika dan aku kerap bertemu di provinsi. Bahkan, tahun lalu aku
memenangkannya setelah satu jam semenjak dimulai. Jadi tak ada alasan untuk
kalah kali ini.
Setelah bersalaman dan berdoa,
kami memulai pertarungan sengit dan bergengsi ini, dimana yang menang akan
melaju ke tingkat nasional. Aku pegang
hitam, namun tak masalah. Ia memulai
dengan e2-e4, aku berjalan c7-c5. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan kudanya. Aku
hanya membalas d7-d6. Setidaknya ia masih tenang sebelum langkah ke delapan
puluhku. G5! Membuat Chika terkejut, juga orang lain yang menyaksikan. Langkah
ini merupakan langkah berani milik Grand Master Rusia yang kugunakan. Chika
menjadi bimbang, apakah langkah ini muslihat atau sekedar langkah putus asa. Diriku
telah menyiapkan langkah ini dengan seksama, bahkan mempelajarinya dari bahasa
Rusia. Sehari sebelum bertanding aku
memesan makan malam di kamar hotel sambil terus mempersiapkan variasi ini,
apakah akan dimainkan atau tidak.
Setelah langkah ke-89 dengan
menempatkan benteng di h7, aku memblok ancaman matt dan merasa posisi aman. Aku
meminum air putih beberapa teguk saja. Di belakang berdiri Tatsuya dengan
pandangan kagum menikmati permainan penuh komplikasi. Chika menawarkan remis,
tapi kutolak mentah-mentah. Aku harus berjuang untuk menang jika ingin bertemu
Akana Najyenka di turnamen catur musim
panas di kota Pandain. Waktu hampir habis, namun kedua dari kami belum
menunjukkan tanda kemenangan. 5 menit ini akan menentukan nasibku selanjutnya.
Wasit memberi aba-aba tanda pertandingan telah berakhir. Juri meninjau posisi
bidak yang lebih berpotensi untuk
menang.
Hitam, win! Semuanya berpihak
kepadaku. Domo arigatouuu! Orang yang pertama kuhampiri ialah Tatsuya.
“Bagaimama denganmu?” “Jangan khawatirkan aku, aku juga menang.” ucapnya datar.
“Saya yakin penduduk kota akan bangga dengan kalian, yang menyabet dua emas
sekaligus.” Tukas pelatih dari kota kami. Aku seperti memaksa pintu surga yang
tadinya hanya ada sedikit celah menjadi terbuka lebar. Master nasional Daisuke
Akashi mengalungkan medali emas di leher kami. Suatu kehormatan bagi juara satu
sampai tiga, putra maupun putri. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun
ini hanya diperbolehkan mengirimkan 1 kandidat putra, dan 1 kandidat putrid ke
kejuaraan nasional.
Satu hari semenjak kejadian itu,
kami terus dibimbing oleh pelatih di provinsi. Sudah satu bulan kami tak pulang
ke kota Teiko tercinta. It’s something! Kangen lawakan kakakku yang terkadang
garing, nasi goreng ala chef Usui yang baunya, wah! Rindu nasihat dari
sahabat-sahabatku yang kadang tak bermutu dan tak jarang ngelantur. Mungkin
sekarang kakakku juga sedang dilatih oleh provinsi, di tempat yang berbeda.
Summer time has been coming! Aku
menari-nari ria di depan cermin besar kamar hotel. Pada hari spesial ini aku
mengenakan stelan jaket dan celana training biru, tak lupa memakai topinya.
Aduh belum menang saja telah terlihat keren setelah mengenakannya. Kunamakan
hari ini ‘Jintan’s Day’. Ya, hari ini harus menjadi milikku. Aku keluar dari
kamar setelah memakai sport shoes, dan menenteng tas hitam yang sudah berisikan
papan catur lipat baru yang kemarin telah kubeli di bandara V.K Sky apalah, aku tak tau kepanjangan dari V
dan K-nya. Tak lupa aku membawa satu botol air putih, dan juga sebotol orange
juice favoritku.
Ternyata Tatsuya telah menungguiku
di luar. Kami menelusuri lorong-lorong
hotel ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat pertandingan, aku terus berdoa
tiada henti. Di kejuaraan nasional ini, aku akan bermain sebanyak lima kali, dengan
sistem swiss. Aku kini menduduki bangku nomor 7, dengan lawan pertamaku Yui
Lizaa. Dia cukup cerdik memanfaatkan peluang, untuk melancarkan tipuannya,
sehingga aku sedikit kewalahan menghadapinya. Namun setelah sembilan puluh
menit berlalu, akhirnya aku memenangkannya. Awal yang tak begitu buruk. Setelah
menghadapi Lizaa, aku juga memenangkan Reina D, kalah dengan Yuka Jenna, menang
mutlak atas Misaki Ayuzawa.
Sret! Kutelusuri papan denah
permainan dengan jari telunjukku. Akana Najyenka! Ya aku akan melawannya di babak
kelima ini. Dia sudah mengumpulkan 4 poin penuh, aku tertinggal satu poin darinya. Kami
memulainya dengan saling adu indera penglihatan. Aku ingin sekali menghabisinya
sekarang juga. Ia mengeluarkan papan
catur dan bidak perunggunya yang telah melegenda.
Variasi Sicilian Najdrof kembali
dimainkan. Aku menghindari pion beracun seperti kalah pada babak ketiga.
Najyenka mendapat pion, tetapi bidaknya tidak berkembang. Pionku yang sengaja
kuhilangkan, menjadi pembuka jalan bagi luncus dan menteri. Penonton ikut
tegang menyaksikan ini. Mungkin di dalam hati, mereka menebak langkah-langkah
selanjutnya. Sejak awal partai mengarah
ke draw. Najyenka menawarkan remis pada
angkah ke 39 tentu saja kutolak. Mungkin karena jengkel dia jadi melangkah
lemah. Aku dengan segera mengambil keuntungan. Memaksa pertukaran kuda.
Hitam tidak rokade panjang,
bermaksud menyerang di sayap menteri. Aku mencadangkan langkah jika hitam
bermaksud bertukar menteri di b5. Benar, dia memaksakan langkah itu. Aku
menghindarinya dengan sekejap.
Tanpa memindahkan benteng ke f6
sulit bagiku mengkombinasi untuk menghabisi bidak hitam. Najyenka mungkin
berharap aku menjalankan e5 f5! Tidak menduga mendapat kejutan fatal.”
“Checkmate!” ucapku lantang. Penonton terpana melihatnya. Mereka bertepuk tangan meriah.Otomatis aku
dinyatakan menang atas Akana Najyenka. Secara tak langsung, aku telah
membuktikan ketidakmempanan catur perunggunya. Ekspresi Najyenka geram. Ia
berusaha menyembunyikan air matanya yang nyaris banjir itu.
“The first winner is... Yuka
Jenna ! dengan perolehan 4,5 poin dari 5 pertandingan.” Ia lansung dikalungi
oleh Woman Grand Master Michio Smyslov
dengan medali emas yang tentunya sudah diidam-idamkan sebelumnya. “The runner
up is…” Aku terus berdoa agar aku yang dipanggil namanya oleh WGM Michio
Smyslov. “Is… Shu Makari!” kulihat perempuan itu dengan bangganya berjalan
menuju ke depan pemirsa, berharap diberikan segelinding medali perak. Aku
benar-benar menangis terisak. Tuhan, apakah aku akan menerima kekecewaan untuk
kedua kalinya. Mungkin aku memang belum ditakdirkan masuk pelatnas.
Ada seseorang tak kukenal membisikkan
sesuatu pada juri. “Maaf Makari, anda seharusnya belum berhak untuk ini.” ucap
WGM Michio Smyslov sambil melepaskan medali perak yang telah dikalungkan kepada
Makari. Makari menuruni panggung dengan penuh kekecewaan. Aku tahu
rasanya. “The runner up is..Jinchi
Hayawakari! Anda lebih berhak untuk ini. Maaf kami salah mengurutkannya. Jinchi
mendapat 4 poin dari 5 pertandingan.” Aku masih tak percaya mendengarnya. Aku
terharu, bahagia, kaget campur tak percaya. Aku masuk pelatnas? Aku menepuk
pipiku keras-keras. “Itaiii!” Ini bukan sekedar mimpi saja. Aku berlari menuju
panggung dengan berlinangan air mata kebahagiaan. Kuciumi medali perak yang barusaja kuterima.
Senangnya. “Pemenang ketiga ialah…Akana Najyenka!” dia sudah merasa lebih baik
setelah dikalungkan medali perunggu. Setelah kami berfoto bersama dan menerima
uang bimbingan, kami dipersilahkan kembali. Di depan pintu masuk aula, kulihat kedua
orang tuaku, dan kakakku yang tersenyum bangga. Apa itu yang berada di
lehernya? Mungkinkah medali emas? Kalau benar begitu, aku jadi agak iri
dengannya. Namun jika demikian, aku juga bangga memiliki kakak sepertinya.
Terimakasih banyak telah mengajariku dari awal sampai sejauh ini! Domo
arigatou! Keberhasilanku ini juga tak lepas dari kerja kerasku serta doa-doa
yang senantiasa menyertaiku. Ini merupakan musim panas teristimewa sepanjang
hidupku! Aku harus bersiap untuk Kejuaraan catur di Chiang Mai, Thailand di musim dingin nanti.
One step closer. .
No comments:
Post a Comment